Lompat ke isi utama

Berita

HARUS ADA HARMONISASI HUKUM PEMILU

Diskusi Awasi Yuk! Serial Hukum

Bandung (20/5)--- Bawaslu wacanakan perlunya harmonisasi hukum antara Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada agar rumusan penegakan hukum Pemilu menjadi lebih progresif dan efektif.

Pernyataan tersebut disampaikan Koordiv. Hukum, Data, dan Informasi Bawaslu Jabar pada diskusi “Awasi Yuk! Serial hukum” sebagai input atas revisi UU Pemilu, Selasa (19/5).
 
Pihaknya menyampakan terdapat 4 pemetaan kluster isu penegakan hukum Pemilu penanganan pelanggaran yang memerlukan harmonisasi antara UU Pemilu dan UU Pilkada. Pertama, jangka waktu penanganan pelanggaran ada yang fast trek (3+2) dan ada yang waktunya cukup memadai (7+7).

Kedua, terkait juga pidana pemilu dan eksistensi gakkumdu, apakah penyelesaian pidana diproses langsung oleh kepolisian atau menggunakan komando di lembaga masing-masing.

Ketiga, pada penanganan pelanggaran administrasi Pemilu memerlukan pola ajudikasi tentu lebih terbuka. Keempat, pada penanganan pelanggaran administrasi Pemilu yang berifat TSM ada rekomendasi yang tidak bisa dieksekusi.

Menanggapi 4 kluster tersebut, Berna, menegaskan pada prinsipnya 4 kegiatan tersebut perlu dimasukkan ke ranah pengaturan UU Pilkada dengan pola menggunakan istilah harmonisasi. Pertama, jangka waktu penanganan pelanggaran 7 hari+7 hari yang merujuk UU 7 Tahun 2017  dianggap ideal dibanding UU Pilkada.

Kedua, terkait eksistensi gakkumdu, dalam UU Pemilu Bawaslu ditunjuk sebagai koordinator, tetapi di UU Pilkada sulit dilakukan.

Ketiga, berkaitan dengan penanganan pelanggaran administrasi Pemilu, pihaknya menyatakan lebih baik menggunakan format UU Pemilu karena bersifat terbuka. Keempat, pelanggaran administrasi TSM harus diperluas tidak hanya tntang money politik saja.

Menanggapi paparan di atas, Dede Kania yang juga pakar Hukum UIN Bandung, menyatakan bahwa pengaturan kepemiluan masih sangat tidak stabil, tambal sulam,  dan rentan.

“Memang kedepannya harus ada harmonisasi UU No 7 Tahun 2017 dan UU 10 Tahun 2016 menjadi penting karena UU sekarang ini belum ada dasar yang baik dan masih banyak bolong-bolongnya dan kita masih memerlukan banyak revisi,” imbhnya.

Ia menyampaikan bahwa pada penegakan hukum, apa yang ada di dalam norma harus diwujudkan bukan hanya dinormakan agar mewujudkan nilai kepastian hukum, kemanfaatan, keadilan, dan menjadi pemilu yang berkualitas.

Lanjutnya, Dede Kania mendorong perlunya Bawaslu mengadopsi kewenangan KPK, sehingga produknya  bukan hanya rekomendasi tapi dalam sebuah putusan, begitu juga SDM nya diperkuat. Begitu juga para penegak hukumnya perlu dibebaskan dari tugas memeriksa perkara yang lain/diluar kepemiluan.

Adapun pada penanganan pelanggaran, akademisi tersebut membutuhkan waktu yang cukup panjang, termasuk pembuktian-pembuktian secara online juga harus diantisipasi pandemic covid 19 belum bisa dipastikan kapan berakhir. Sementara pada pelanggaran yang bersifat TSM belum diatur definisinya secara jelas dalam UU Kepemiluan sehingga menjadi sumir

Menutup serial diskusi, Yusup Kurnia menyimpulkan masih banyak sekali kelemahan norma UU Pemilu sehingga masukan ini menjadi bagian penting dari umpan balik atas draft revisi UU Pemilu. (IZ)

Tag
Berita
Pengawasan
Pengumuman